Andre Lado : Asas Fiksi Hukum dalam Perspektif Teori Hukum
JURNAL POLISI.NET, KOTA KUPANG - Asas Presumptio Iuris de Iure atau yang sering disebut juga dengan asas fiksi hukum merupakan salah satu konsep dalam teori hukum yang berfungsi untuk menyederhanakan penerapan hukum dalam praktik.
Istilah ini berasal dari bahasa Latin yang dapat diterjemahkan menjadi "Presumsi Hukum yang Tidak Dapat Dibantah".
Dalam konteks hukum, asas ini mengandung makna bahwa suatu keadaan atau fakta yang telah diatur dalam perundang-undangan dianggap benar dan tidak memerlukan pembuktian lebih lanjut, meskipun fakta tersebut sebenarnya bisa saja tidak sesuai dengan kenyataan.
Pengertian Asas Presumptio Iuris de Iure
Presumptio Iuris de Iure adalah asas yang menyatakan bahwa suatu kondisi atau fakta hukum yang ditetapkan oleh undang-undang dianggap benar tanpa perlu pembuktian lebih lanjut, dan pihak yang berusaha membantahnya harus menanggung beban pembuktian.
Artinya, fakta yang diatur secara hukum dianggap pasti dan tidak dapat disangkal, kecuali ada pembuktian yang sangat kuat yang membuktikan sebaliknya.
Contoh yang sering dijumpai dalam sistem hukum adalah terkait dengan status hukum seseorang. Misalnya, dalam hukum perdata, jika seseorang telah menikah menurut catatan sipil, maka pernikahan tersebut dianggap sah tanpa perlu lagi dilakukan pembuktian di pengadilan, meskipun dalam kenyataannya ada kemungkinan pernikahan tersebut tidak sah.
Fungsi dan Tujuan Asas Presumptio Iuris de Iure
1. Efisiensi Proses Hukum
Salah satu tujuan utama dari asas ini adalah untuk mempercepat proses hukum. Jika suatu fakta atau kondisi telah diakui oleh hukum, maka tidak perlu lagi melalui proses pembuktian yang panjang. Hal ini mengurangi beban pengadilan dan para pihak yang terlibat, sehingga hukum dapat lebih cepat dijalankan.
2. Menghindari Pembuktian yang Berulang
Dengan adanya asas fiksi hukum, pembuktian yang berulang kali atas fakta yang sudah jelas diatur oleh hukum dapat dihindari. Ini juga membantu menjaga konsistensi dan kepastian hukum.
3. Melindungi Kepentingan Umum
Asas ini sering digunakan untuk melindungi kepentingan yang lebih besar, misalnya untuk melindungi hak-hak pihak yang lebih lemah, seperti anak-anak atau orang yang tidak memiliki kapasitas hukum yang penuh. Sebagai contoh, dalam hukum waris, anak yang diakui oleh undang-undang sebagai anak sah tidak perlu membuktikan lagi statusnya di hadapan pengadilan.
Tantangan
Meskipun asas ini memiliki berbagai manfaat dalam konteks efisiensi hukum, akan tetapi penerapannya juga memiliki tantangan.
Salah satunya adalah potensi ketidakadilan bagi pihak yang berusaha membantah fakta yang dianggap benar oleh hukum.
Misalnya, jika seseorang dituduh melakukan suatu tindakan pidana berdasarkan asumsi hukum yang telah berlaku, maka beban pembuktian untuk membantah tuduhan tersebut dapat menjadi sangat berat.
Selain itu, asas fiksi hukum kadang-kadang dipandang sebagai penghalang untuk mencari kebenaran materiil, karena menganggap bahwa suatu fakta hukum sudah tidak bisa dibantah meskipun mungkin ada bukti yang dapat merubah pandangan tersebut.
Penerapan dalam Sistem Hukum Indonesia
Di Indonesia, asas ini dapat ditemukan dalam beberapa ketentuan hukum, misalnya dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer) dan beberapa peraturan perundang-undangan lainnya. Asas Presumptio Iuris de Iure sering digunakan dalam perkara-perkara yang melibatkan status hukum, seperti status pernikahan atau pengakuan anak sah, dimana hukum telah menetapkan ketentuan yang menganggapnya sebagai fakta yang tidak dapat dibantah.
Kesimpulan
Asas Presumptio Iuris de Iure atau asas fiksi hukum memiliki peran penting dalam mempercepat dan menyederhanakan proses hukum dengan menganggap fakta-fakta tertentu sebagai benar tanpa perlu dibuktikan lagi.
Sehingga asas ini berlaku ketika suatu peraturan perundang-undangan telah diundangkan. Artinya, ketentuan tersebut berlaku mengikat dan ketidaktahuan seseorang akan hukum tidak dapat membebaskannya dari tuntutan hukum.
Namun dalam praktiknya, penerapan asas ini harus memperhatikan keseimbang terhadap prinsip keadilan dan kepastian hukum, agar tidak mengorbankan hak-hak individu yang berusaha membuktikan ketidaksesuaian fakta tersebut. ****